Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email

KEMISKINAN PERKOTAAN DAN PENATAAN RUANG

 
OLEH:MARSELINUS NIRWAN LURU
Kemiskinan bertalian dengan penataan ruang. Siapapun membutuhkan ruang yang cukup untuk kelangsungan hidup layak. Kekalahan yang berujung pada ketidakberdayaan memperoleh ruang yang “cukup” dan layak dinamakan kemiskinan.

Penataan ruang sudah dikenal sejak manusia meninggalkan pola hidup mengembara dan mulai menetap. Pada saat itu, penataan ruang disesuaikan dengan problem cuaca dan ancaman musuh. Orientasi itulah menjadi pembeda dengan esensi penataan ruang saat ini yakni menyelamatkan ruang dari kerakusan dan tipu daya manusia sendiri (Mumford, 1963).

Relevansi Mumford pada saat ini adalah ruang hidup kita—darat, laut, udara—dikuasai  oleh segelintir orang untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kaum miskin yang tergolong kelompok kalah dalam perebutan ruang kota—menyitir Dieter Evers (1986)— semakin terpuruk. Akibatnya orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin. Tak pelak, ketimpangan perkotaan semakin lebar. Tercatat, per September 2015 rasio gini perkotaan sebesar 0,47, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 0,43. Bahkan lebih buruk dari rata-rata rasio gini nasional sebesar 0,41 (Kompas, 5 dan 6/2/2016).

Jikalau ruang kota masih dikonsepkan sebagai komoditas yang harus direbut, sangat dikuatirkan tahun 2025, dimana lebih dari separuh penduduk Indonesia akan menghuni perkotaan menjadi kenyataan buruk, mengancam eksistensi kota. Laju pesat urbanisasi akan menjadi pupuk kemiskinan yang sudah dan bahkan bisa jadi benih kemiskinan baru.

Tata Ruang

Seyogianya, tata ruang mempunyai peran sentral dalam pengentasan kemiskinan perkotaan. Tata ruang berperan dalam alokasi ruang yang menjadi kebutuhan pokok setiap individu perkotaan sekaligus menjadi pilar dalam mensiasati keterbatasan lahan. Dengan demikian, siapa dan kapanpun, warga kota masih leluasa berekpresi di atas lahan atau ruang kota itu.

Kondisi kemiskinan perkotaan yang berujung pada lebarnya kesenjangan kaum kaya dan kaum miskin (Kompas, 5/6/2016) menjadi catatan penting bagi paradigma tata ruang kota kita. Akses warga kota, khususnya kaum miskin terhadap ruang kota turut berpengaruh dalam penghidupan perkotaan.  Tata ruang yang tidak mengedepankan konsep keadilan dan akomodatif berpotensi menilmbulkan kantong-kantong kemiskinan baru, kriminalitas serta berkontribusi terhadap percepatan kemunduran kota.

Sayangnya, berbagai dokumen perencanaan, khususnya yang bersentuhan lagsung dengan penataan ruang seperti Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan (RTRK) masih belum sepenuhnya menyentuh masalah kemiskinan. RTRK masih bertolak pada masalah fisik, misalnya kondisi sumber daya alam.

Hal ini bukan mengkerdilkan aspek fisik, namun kecenderungan bertolak dari aspek fisik dan mengabaikan problem sosial kemiskinan malah akan berdampak serius pada kondisi fisik kota itu sendiri. Misalnya, fenomena menjamurnya permukiman kumuh dan liar di kota-kota besar kita. Tahun 2015 tercatat 3771 kawasan kumuh yang dihuni oleh 973,823 jiwa di tujuh kota  antara lain Jakarat, Surabaya, Bandung, Palembang, Medan, Semarang, Denpasar. Ini belum termasuk permukiman liar yang bertebaran di bantaran rel kereta api, kolong jembatan dan bantaran sungai.

Kemudian, Rencana Tata Ruang kota kita masih bersifat teknis dan minim data elemen sosial, terutama mengenai implikasi rencana tersebut terhadap kehidupan masyarakat miskin. Dipahami bahwa perubahan spasial mempunyai ekses pekerjaan, transportasi, pendidikan, dan tempat tinggal. Dengan demikian, perencanaan tata ruang, entahkan itu sifatnya awal perencanaan atau revisi diharapkan mempertimbangkan aspek kemiskinan.

Problem sosial yang disulut masalah peruntukan lahan kota sangat menonjol di daerah yang ‘sedang membangun’. Ada kecenderungan daerah lebih memperhatikan pembangunan fisik didukung kuatnya minat investor, tak jarang pemetaan ekses sosial kemasyarakatan diabaikan.

Penolakan masyarakat terhadap alih fungsi lahan pribadi atau komunal  untuk kepentingan segelintir orang sebaiknya dinilai sebagai cerminan dilangkahi elemen sosial dalam perencanaan ruang.

Kegigihan kalangan masyarakat sipil di Kabupaten Manggarai Barat-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) mempertahankan Ruang Terbuka Pantai Pede misalnya, harus menjadi bahan refleksi dan input baik bagi pemangku kepentingan setempat untuk ditindaklanjuti.

Selain itu, masih terjadinya dikotomi antara instansi urusan penataan ruang dan urusan kemiskinan menjadi PR pemerintah kita. Problem penataan ruang seakan-akan hanya diurusi oleh Badan Perencanaan Daerah dan kemiskinan urusan Dinas Sosial. Ego sektoral ini perlu dihilangkan, dan memulai mengatasi sesuatu secara lintas sektoral sehingga tercapai solusi yang komprehensif.

Pengentasan Kemiskinan

Berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah atau lembaga non pemerintah untuk pengentasan kemiskinan perkotaan masih pada tataran adaptasi—meminimalisasi dampak kemiskinan, misalnya program bantuan langsung tunai, perbaikan rumah atau bentuk bantuan social lainnya. Perencanaan kota dengan mengakomodasi aspek kemiskinan yang sifatnya mitigasi—mencegah penyebab kemiskinan perkotaan, belum sepenuhnya diadopsi dalam kerangka pembangunan kota kita.

Upaya tersebut dapat dijabarkan antara lain: pertama, memasukan aspek sosial, khususnya kemiskinan perkotaan sebagai salah satu dasar penataan ruang kota. Tindak lanjutnya bisa dengan pencarian data yang merangkum di mana dan bagaimana model kemiskinan kota. Data diperoleh melalui sumber sekunder misalnya instansi pemerintah yang menangani langsung masalah kemiskinan maupun data primer (terjun langsung ke lapangan). Hal ini dapat membantu para perencana kota merumuskan rencana tata ruang kota dan mensiasati dampak rencana tersebut terhadap kaum miskin kota di masa datang.

Selanjutnya, hasil pengumpulan data tersebut dikonversi kedalam klasifikasi kawasan perkotaan diikuti kebijakan yang relevan dengan tekstur kawasan. Kawasan pesisir misalnya mengedepankan kebijakan mitigasi dan kelentingan terhadap bencana kenaikan permukaan air laut. Kawasan pinggiran kota (peri-urban) dengan aksesibilitas yang efektif dan efisien, penyediaan fasilitas pokok yang memadai. Sedangkan kawasan inti kota diterjemahkan melalui penyediaan permukiman layak huni dan akses terhadap kebutuhan dasar.

Upaya pengentasan kemiskinan melalui penataan ruang kota memang bukanlah perkara mudah. Bantuan dana, perbaikan rumah atau kampung memang penting. Tetapi, lebih penting dari itu ialah penataan ruang kota secara lintas sektoral, komprehensif dan mengakomodasi segala aspek, terutama kemiskinan perkotaan. Sebab, kota yang baik tercermin pada keleluasaan penduduk mengakses fasilitas pelayanan dasar kota secara adil dan efisien.

Penulis adalah alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta; dan sekarang sedang melanjutkan S2 di universitas indonesia(UI).
 
Copyright © -2012 ARCHITECTURE DAN KOTA All Rights Reserved | Template Design by ARCHITECTURE DAN KOTA |